‘Resep’ Kabupaten Pekalongan Tekan Angka Kemiskinan

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta-Kemiskinan masih menjadi isu strategis pada Kabupaten Pekalongan. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan dirasa belum optimal. 

Wilayah Kabupaten Pekalongan terbagi menjadi 3 tipologi yaitu daerah pesisir, perkotaan dan pegunungan, dimana kemiskinan terjadi pada semua tipologi tersebut dengan karekteristik yang berbeda. Tercatat ada 99 desa berstatus hijau, 119 kuning, dan 67 merah. 

Berangkat dari permasalahan tersebut, Kabupaten Pekalongan mengembangkan Laboratorium Kemiskinan yang bertujuan untuk mengatasi persoalan kemiskinan secara terpadu, tepat program, tepat sasaran serta tepat guna sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik warga miskin. 

Upaya tersebut dilakukan dengan memberdayakan masyarakat, membangun serta mengembangkan potensi dan SDA desa merah (kemiskinan tinggi), agar menjadi desa kuning dan hijau. Tiga desa sampel mewakili topografinya menjadi desa pilot penanganan kemiskinan. Pada Desember 2017, Laboratorium Kemiskinan mengambil 3 desa sebagai desa pilot yaitu Desa Botosari (Pegunungan), Desa Kertijayan (Perkotaan) dan Desa Mulyorejo (Pesisir). Data yang digunakan sebagai dasar penentuan sasaran adalah Basis Data Terpadu (BDT) 2015 dan didapat 1.425 rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah (desil 1 - 4). 

Dalam kegiatan Presentasi dan Wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2020, Bupati Pekalongan Asip Kholbihi menyampaikan Laboratorium Kemiskinan sendiri merupakan inovasi baru pengentasan kemiskinan dengan ruang lingkup wilayah tingkat kabupaten. Inovasi baru pada program ini yaitu dengan melibatkan semua pihak (kolaborasi Pentahelix) yang terdiri dari pemkab, pemdes, dunia usaha, perguruan tinggi dan masyarakat, berbeda dengan penanganan kemiskinan sebelumnya yang cenderung berjalan sendiri-sendiri dan sporadis. Jika sebelumnya penanganan kemiskinan belum menggunakan data yang valid, intervensi program ini sudah menggunakan Basis Data Terpadu (BDT) dan dipertajam dengan Participatory Poverty Assesment (PPA). 

“Laboratorium kemiskinan juga menggunakan pendekatan topografi wilayah di mana masing-masing topografi mempunyai penyebab kemiskinan yang berbeda sehingga akan menghasilkan formula kebijakan pengentasan yang berbeda pula. Hal ini yang belum pernah dilakukan oleh program penanganan kemiskinan sebelumnya,” ujarnya secara virtual belum lama ini.

Menurutnya peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat dilakukan secara bertahap, melalui perbaikan program perlindungan sosial, kemudian perbaikan akses pelayanan dasar, dan memperluas pemberdayaan kelompok masyarakat miskin dalam berbagai kegiatan pembangunan. Terdapat fokus dan keseriusan terutama dari sisi perencanaan dan pengalokasian anggaran guna menekan angka kemiskinan di desa pilot pada laboratorium kemiskinan dengan cara meningkatkan pendapatan berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa dan menurunkan beban si miskin. 

Secara rinci ia menjelaskan keterlibatan semua pihak sudah dimulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Pemkab dengan alokasi APBD menyinergikan kekuatan OPD melalui program kegiatan yang difokuskan pada tiga desa Laboratorium Kemiskinan. Pemerintah Desa dengan asistensi dari TKPKD menyusun perencanaan dan penganggaran desa yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan. 

Sementara dunia usaha melalui forum CSR berpartisipasi aktif dalam mendukung Perguruan Tinggi membangun desa baik melalui KKN tematik maupun desa binaan. Program ini sudah didesain sejak awal bahwa penerjunan mahasiswa melalui konsep Tri Dharma, dan kelompok masyarakat peduli baik secara individu maupun kelembagaan di level kabupaten maupun desa berpartisipasi secara aktif melalui program kegiatan yang ada di masing-masing organisasi kemasyarakatan. 

Sebelum inovasi dibentuk, tahun 2017 tercatat ada 1.425 rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah (desil 1 - 4). Dalam program ini terdapat sasaran spesifik yang terdiri dari Anak Tidak Sekolah 36 anak, individu dengan kecacatan 56 orang. Selain itu terdapat pula karakteristik kemiskinan lainnya berupa 233 kepala rumah tangga tidak produktif, 348 unit Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), 253 rumah tangga yang sumber air minum tidak terlindung, 3 rumah tangga yang belum ada listrik, 381 rumah tangga yang belum memiliki fasilitas BAB. 

“Hasil evaluasi awal oleh TKPK, inovasi ini dianggap berhasil yang ditandai dengan keluarnya Desa Botosari dan Desa Mulyorejo dari desa merah. Hal ini dapat diketahui dari jumlah rumah tangga pada desil 1 – 4 menurun menjadi 1.120 rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah, berkurangnya RTLH sebesar 75,28 persen. Penduduk dengan kecacatan yang tertangani sebesar 100 persen. Berkurangnya Anak Tidak Bersekolah sebanyak 47,22 persen. Selain itu 55,30 persen penduduk desa pilot usia 15-59 tahun yang telah mengikuti peningkatan ketrampilan pengetahuan dan bekal bekerja,” pungkasnya.(p/ab)